Advertisement
Ada Aturan Diskriminatif, Bantuan ke Desa Akan Disetop Pemda DIY
Sekda DIY Gatot Saptadi - Harian Jogja/Desi Suryanto
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Gubernur DIY Sri Sultan HB X telah mengeluarkan Instruksi Gubernur No.1/INSTR/2019 tentang Pencegahan Potensi Konflik Sosial. Instruksi melarang keberadaan aturan-aturan diskriminatif di hingga tingkat terkecil di desa.
Pemda bahkan sudah menyiapkan sejumlah hukuman apabila aturan-aturan diskriminatif masih muncul, saah satunya penghentian bantuan.
Advertisement
Sekda DIY Gatot Saptadi mengatakan Pemda DIY pernah mengeluarkan instruksi yang sama pada 2015. Instruksi No.107/2015 tersebut juga mengatur penanganan konflik sosial yang ditujukan kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan pemerintah desa. “Instruksi yang baru ini untuk menyegarkan kembali dan mencermati aktivitas yang ada di masyarakat. Kami akan terus memonitor apakah instruksi ini dijalankan atau tidak,” ujar dia.
Kebijakan yang mengatur warga baik aturan tertulis maupun tidak tertulis, harus sepengetahuan pemerintahan terendah, yakni desa. Belajar dari kasus yang terjadi di Dusun Karet, Pemda DIY meminta agar pemerintah kabupaten dan kota menelusuri aturan-aturan diskriminatif lain sejenis.
BACA JUGA
“Aturan seperti ini jelas tidak sah, jelas salah, kami akan telusuri ada tidak aturan sejenis ini di tempat lain. Akan kami lakukan,” kata Gatot.
Bupati dan wali kota yang tidak mengindahkan instruksi tersebut tentu akan mendapatkan sanksi, mulai dari teguran, sanksi administratif, hingga evaluasi bantuan. Bisa jadi bantuan dari Pemda DIY ke desa akan ditangguhkan.
Diskriminasi dialami Slamet Jumiarto di Dusun Karet, Desa Pleret, Bantul. Sejumlah tokoh masyarakat di dusun itu membuat kesepakatan tertulis sejak 2015. Dalam kesepakatan tersebut, warga nonmuslim dan aliran kepercayaan tidak diizinkan untuk tinggal di dusun tersebut meski hanya sebatas mengontrak. Belakangan, aturan itu dicabut. Masyarakat Dusuk Karet mengaku khilaf dan meminta maaf. Mereka juga menerima Slamet menetap di dusun tersebut.
Pemda DIY kemudian mengelurkan delapan instruksi yang bisa diperas menjadi tiga pokok. Pertama, pencegahan potensi konflik sosial. Bupati dan wali kota harus bisa mencegah persoalan tersebut. Kedua, mengambil langkah yang cepat dan tegas jika terjadi konflik. “Kemarin itu kejadian berlangsung, publik sudah mengetahui, tetapi langkah yang diambil terlambat. Bupati harus menyelesaikan dengan cepat dan tegas sesuai kewenangannya,” ucap dia.
Terakhir, lanjut Gatot, pembinaan dan pengawasan. Regulasi diskriminatif yang beredar di masyarakat harus ditertibkan. Menurut dia, regulasi terendah harusnya dikeluarkan oleh Pemerintah Desa bukan oleh kepala dukuh. “Regulasi terendah itu di level desa yang menjadi ujung tombak untuk mengendalikan masyarakat. Kalau di bawah desa bukan peraturan, bukan keputusan.”
Dia mengakui ada kesepakatan masyarakat yang biasanya disebut kearifan lokal. Namun, kearifan lokal tidak mengikat.
“Jangan sampai kearifan lokal menjadi senjata. Kearifan lokal harus tetap berpegang pada Pancasila, UUD 1945 dan keutuhan NKRI. Gara-gara nila setitik, Jogja langsung dicap intoleran oleh masyarakat luas. Sekecil apa pun yang terjadi di DIY, dampaknya bisa luas. Sangat disayangkan kalau kami dicap tidak toleran dan tidak kondusif. Ini menjadi pelajaran bagi semua untuk menata hidup bermasyarakat di Jogja,” ucap Gatot.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Pelatihan Kerja Diprioritaskan bagi Keluarga Miskin Ekstrem
Advertisement
Wisata DEB Balkondes Karangrejo Borobudur Ditawarkan ke Eropa
Advertisement
Berita Populer
- Ricuh di Jembatan Kleringan Jogja, Polisi Tangkap 5 Remaja
- Pasar Sentul Jogja Sepi, Pedagang Sulit Bayar Retribusi
- Warga Bantaran Sungai Jogja Dilibatkan BPBD dalam Simulasi EWS Banjir
- Polisi Turun Tangan Selidiki Kecelakaan Kereta Api di Prambanan Sleman
- Kepastian Kontrak PPPK Paruh Waktu di Gunungkidul, Sekda Bilang Begini
Advertisement
Advertisement



